Merinding! Pidato Bung Tomo di Pertempuran Surabaya vs Inggris: Merdeka atau Mati
"Ilustrasi gambar Pidato Emosional Bung Tomo pada Pertempuran Surabaya: Merdeka atau Mati! - 10 November 1945."
Pidato Bung Tomo di Pertempuran Surabaya melawan tentara Inggris. Indonesia memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan yang membanggakan, salah satunya adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Pada momen bersejarah ini, Bung Tomo, seorang tokoh Pahlawan Nasional, memberikan pidato yang menggema hingga saat ini.
Mari kita simak bagaimana Bung Tomo, tokoh pahlawan nasional ini memotivasi dengan kekuatan kata-kata yang memukau keteguhan rakyat Surabaya dalam menghadapi tentara Inggris, dengan semboyan ikonik "MERDEKA atau MATI!" yang membangkitkan semangat perjuangan.
Biografi Singkat Bung Tomo
Bung Tomo adalah pahlawan nasional Indonesia dalam Revolusi Nasional Indonesia. Ia dilahirkan pada 3 Oktober 1920 di Kampung Blauran, Surabaya, Bung Tomo meninggalkan warisan yang menginspirasi dalam Pertempuran 10 November 1945, dan meninggal pada 7 Oktober 1981 di Arafah, Arab Saudi, pada usia 61 tahun.
Dibesarkan dalam keluarga yang menghargai pendidikan, Bung Tomo menghadapi cobaan ketika, pada usia 12 tahun, ia terpaksa meninggalkan sekolah menengah akibat Depresi Besar. Meskipun demikian, semangatnya untuk belajar tetap terjaga, dan ia akhirnya masuk HBS secara korespondensi.
Bung Tomo menjadi bagian dari KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) dan mencapai prestasi luar biasa dengan menjadi orang kedua di Hindia BELANDA yang mencapai peringkat Pramuka Garuda pada usia 17 tahun. Sebelum pendudukan JEPANG pada 1942, hanya tiga orang Indonesia yang mencapai prestasi tersebut. Selain itu, ia juga aktif sebagai jurnalis, menulis untuk beberapa media ternama pada masanya.
Pada 1944, Bung Tomo terlibat dalam "Gerakan Rakyat Baru" dan menjadi pengurus "Pemuda Republik Indonesia" di Surabaya yang disponsori oleh JEPANG. Hal ini menjadi poin awal keterlibatannya dalam Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai pemimpin "Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia" (BPRI) di Surabaya, Bung Tomo memainkan peran vital dalam Pertempuran di Surabaya.
Bung Tomo, yang nama aslinya Sutomo, memiliki peran besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 10 November 1945, dia memimpin rakyat Surabaya melawan tentara INGGRIS yang ingin merebut kembali kendali atas Indonesia.
Pidato Bung Tomo: Memotivasi Semangat Perjuangan
Bung Tomo menunjukkan keberanian dan patriotisme yang nyata selama peristiwa 10 November 1945. Sebagai pemimpin di Surabaya, ia memimpin rakyat Indonesia melawan penjajah INGGRIS yang berusaha merebut kembali kendali atas Indonesia. Pidato heroiknya disampaikan melalui radio, menjadi sorotan yang membara untuk membakar semangat rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di lapangan Benteng Surabaya, ribuan pemuda memadati tempat itu untuk mendengarkan pidato Bung Tomo. Orasinya, yang berdurasi sekitar satu jam, berhasil membangkitkan semangat pejuang kemerdekaan. Teriakan "Merdeka!" memenuhi udara, menciptakan momen yang penuh semangat.
Tantangan dari Tentara Inggris
INGGRIS mengancam dan menuntut penyerahan senjata yang telah direbut dari tentara JEPANG. Namun, Bung Tomo dengan tegas menolak, menyuarakan keputusan untuk tetap berjuang dengan semangat "MERDEKA atau MATI".
Kondisi Genting dan Keputusan untuk Bertahan
Rakyat Surabaya memiliki kekuatan yang membuat INGGRIS terjepit. Meski taktik Licik INGGRIS sempat menghentikan pertempuran, rakyat Surabaya memutuskan untuk tetap bertahan dan melawan.
Puncak Pidato: "Merdeka atau Mati!"
Pada puncak pidato, Bung Tomo mengajak semua untuk memilih antara Kemerdekaan atau Kematian. Semboyan "MERDEKA atau MATI!" menjadi simbol semangat perjuangan yang tak tergoyahkan.
Keyakinan pada Kemenangan
Bung Tomo yakin bahwa kemenangan akan menjadi milik Indonesia. Pergantian strategi dari pertahanan menjadi serangan menunjukkan tekad untuk meraih kemerdekaan. Keyakinan pada dukungan Tuhan memperkuat semangat perjuangan.
Isi Pidato Bung Tomo pada 10 November 1945
Pada 10 November 1945, di lapangan Benteng, Surabaya, Bung Tomo menyampaikan pidato epik yang membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia. Isi pidato ini, yang dikutip dari buku 'Bung Tomo' karya Abdul Waid, mencerminkan ketegasan dan keberanian dalam menghadapi ancaman dari tentara INGGRIS.
Pidato dimulai dengan seruan MERDEKA yang membangkitkan semangat para pendengarnya. Bung Tomo menyampaikan ancaman dari tentara INGGRIS yang menuntut penyerahan senjata dalam waktu tertentu, dengan mengangkat tangan dan membawa bendera putih sebagai tanda penyerahan.
Dalam pidatonya, Bung Tomo menggambarkan persatuan rakyat Indonesia, dengan pemuda dari berbagai daerah yang bersatu dalam pasukan rakyat. Meskipun tertekan oleh taktik Licik INGGRIS yang melibatkan pemimpin-pemimpin Indonesia, Bung Tomo mengajak untuk tetap berjuang.
Dengan semangat yang membara, Bung Tomo menolak menyerah kepada INGGRIS selama "darah merah Indonesia masih dapat membikin secarik kain Putih Merah dan Putih." Dia memperingatkan tentang keadaan genting namun mengajak rakyat Surabaya untuk bersiap, menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar-benar ingin merdeka.
Pidato mencapai puncaknya dengan ungkapan "Lebih baik kita hancur lebur dari pada Tidak Merdeka." Semboyan "MERDEKA atau MATI!" tetap menjadi dorongan utama dan keyakinan bahwa kemenangan pasti akan jatuh ke tangan Indonesia karena "Tuhan selalu berada di pihak yang benar."
Pidato Bung Tomo pada 10 November 1945, dengan seruan merdeka yang menggema, menciptakan momen bersejarah yang menandai tekad dan semangat perjuangan rakyat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Adapun Isi Pidato Bung Tomo, yang dikutip dari buku 'Bung Tomo" karya Abdul Waid tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim,
MERDEKA!!!.
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara INGGRIS telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita di wajibkan dalam waktu yang mereka tentukan untuk menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangan tentara JEPANG.
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu, dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu, dengan membawa Bendera Putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara...
Di dalam pertemuan-pertemuan yang lampau kita sekalian telah menunjukkan, bahwa rakyat Indonesia di Surabaya, pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung telah menunjukkan satu kekuatan, sehingga mereka itu terjepit dimana-mana.
Hanya karena taktik yang licik dari pada mereka itu. Saudara-saudara, dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka, kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran, tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri dan setelah kuat sekarang, inilah keadaannya.
Saudara-saudara...
Kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini, akan menerima tantangan tentara INGGRIS itu dan kalau pimpinan tentara INGGRIS yang ada di Surabaya ingin mendengar jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara INGGRIS. Ini jawaban kita!, ini jawaban rakyat Surabaya!, ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian!.
Hai tentara Inggris!...
Kau menghendaki, bahwa kita akan membawa Bendera Putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara JEPANG untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita: selama benteng-benteng Indonesia masih mempunyai Darah Merah yang dapat membikin secarik kain Putih Merah dan Putih. Maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga.
Saudara-saudara...
Rakyat Surabaya, Siaplah!.
Keadaan Genting!.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukkan bahwa, kita ini adalah benar-benar orang yang INGIN MERDEKA!!!.
Dan untuk kita, saudara-saudara...
Lebih baik kita Hancur Lebur dari pada TIDAK MERDEKA!!!.
Semboyan kita tetap: MERDEKA atau MATI!!!.
Dan, kita yakin, saudara-saudara...
Pada akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah, saudara-saudara...
Tuhan akan melindungi kita sekalian...
Allahu Akbar!. Allahu Akbar!. Allahu Akbar!.
MERDEKA!!!.
Pidato Bung Tomo pada 10 November 1945 mencerminkan semangat, tekad, dan keberanian rakyat Surabaya dalam menghadapi ancaman dari tentara Inggris yang ingin merebut kembali kendali atas Indonesia. Berikut adalah beberapa makna dari isi pidato tersebut:
- Semangat Perlawanan dan Kemandirian: Pidato menyoroti semangat perlawanan dan kekompakan rakyat Indonesia, khususnya di Surabaya, dari berbagai daerah dan lapisan masyarakat. Ini mencerminkan kesatuan dalam perjuangan melawan penjajah.
- Penolakan Penyerahan Diri: Bung Tomo dengan tegas menolak tuntutan tentara Inggris untuk menyerahkan senjata, mengangkat tangan, dan membawa bendera putih sebagai tanda penyerahan diri. Hal ini menunjukkan tekad untuk tidak menyerah dan menjunjung tinggi martabat bangsa.
- Keberanian dalam Kehancuran: Pernyataan "Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka" mencerminkan keberanian untuk menghadapi segala risiko dan konsekuensi dalam mempertahankan kemerdekaan.
- Semboyan "Merdeka atau Mati": Semboyan ini menekankan tekad untuk mencapai kemerdekaan, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan segalanya, termasuk nyawa. Ini menjadi poin sentral dalam semangat perjuangan yang diusung oleh rakyat Surabaya.
- Keyakinan pada Kemenangan dan Perlindungan Tuhan: Bung Tomo meyakinkan bahwa kemenangan akhirnya akan menjadi milik mereka dan bahwa Tuhan selalu berada di pihak yang benar. Ini memberikan penghiburan dan motivasi ekstra kepada pendengar pidato.
- Kesadaran akan Ancaman Inggris: Pidato mencerminkan kesadaran akan ancaman tentara Inggris dan upaya mereka untuk mengkooptasi pimpinan Indonesia. Ini menjadi panggilan untuk tetap waspada dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
- Patriotisme dan Kebanggaan Nasional: Pidato ini membangkitkan rasa patriotisme dan kebanggaan akan identitas nasional Indonesia. Bung Tomo menegaskan bahwa rakyat Surabaya, bersama seluruh bangsa Indonesia, siap menghadapi tantangan dan tidak akan menyerah begitu saja.
Melalui kata-kata yang penuh semangat, pidato ini menjadi inspirasi bagi mereka yang mendengarnya, mendorong semangat perlawanan dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Secara keseluruhan, pidato ini tidak hanya menjadi tonggak bersejarah dalam peristiwa Pertempuran 10 November 1945, tetapi juga menjadi simbol semangat dan keberanian dalam mempertahankan hak kemerdekaan.
Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran tersebut, rakyat Surabaya dianggap berhasil memukul mundur pasukan Inggris untuk sementara waktu. Kejadian ini mencatat dirinya sebagai tokoh sentral dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Bung Tomo, dengan orasinya yang penuh semangat dan perannya dalam peristiwa bersejarah, tetap menjadi simbol perjuangan dan keberanian bagi rakyat Indonesia.
Kesimpulan
Dengan mengenang isi pidato Bung Tomo pada 10 November 1945, kita dapat meresapi semangat perjuangan yang tak kenal lelah. Semboyan "MERDEKA atau MATI!" mengajarkan kita arti sejati dari kemerdekaan dan perjuangan Pahlawan Nasional.
Dalam pidato heroik Bung Tomo pada 10 November 1945, kita menyaksikan momentum bersejarah yang membakar semangat rakyat Surabaya dalam menjaga kemerdekaan Indonesia. Pidato tersebut tidak hanya menjadi teriakan semangat, tetapi juga melukiskan tekad kuat rakyat Indonesia untuk menentang penjajahan, bahkan jika itu berarti harus merelakan segalanya.
Semangat "MERDEKA atau MATI" yang terpancar dari setiap kata pidato mencerminkan keberanian dan kemandirian yang menjadi fondasi perjuangan bangsa. Dalam keadaan genting, rakyat Surabaya bersatu, menolak tuntutan penjajah dengan kekuatan bersama, dan meyakini bahwa kemenangan akhirnya akan menjadi milik mereka, didukung oleh lindungan Ilahi.
Peristiwa bersejarah ini menggambarkan bahwa semangat kemerdekaan tidak bisa dipadamkan oleh ancaman apapun. Pidato Bung Tomo menjadi kilas balik penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, mengingatkan kita akan harganya kemerdekaan, yang tidak hanya diperjuangkan dengan senjata, tetapi juga dengan semangat dan tekad yang luar biasa.
Maka, mari kita terus mengenang dan menghormati perjuangan pahlawan kita, seperti Bung Tomo, yang telah meletakkan dasar-dasar keberanian dan semangat perjuangan demi Indonesia yang Merdeka. Semoga semangat perjuangan ini senantiasa membara di dalam dada kita, menjadi pendorong untuk terus menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan nilai-nilai keadilan, persatuan, dan kemajuan. Selamat Hari Pahlawan! MERDEKA!!!. Salam Gema Santi. Salam Edukasi..!!!
Post a Comment for "Merinding! Pidato Bung Tomo di Pertempuran Surabaya vs Inggris: Merdeka atau Mati"